REFERENSI BERITA - Sebatang bambu utuh yang sudah kering berdiri tegak menjulang di tengah huma. Di bagian ujungnya ada lubang kecil, dan jika angin bertiup cukup kencang, batang bambu itu mengeluarkan suara seperti siulan.
Alat musik yang mengandalkan alam sebagai pemainnya itu bernama Calintu. Alat musik itu selalu berbunyi sepanjang hari dan menemani Urang Baduy yang sedang mengolah tanah menjadi ladang padi.
Memang intonasinya tidak beraturan dan seolah “ngacak”, tergantuung kecepatan angin. Jangan pula berharap suara yang keluar dari batang bambu itu bernada merdu. Namun di balik itu semua, ada makna yang sangat sakral dan diyakini mampu mengusir gangguan hama padi.
Baca Juga: Mahfud Siap Bertanggung Jawab Atas Kasus Kerumunan Massa Rizieq
Calintu itu menghiasi udara tatar Baduy saat masyarakatnya sedang menjalankan tradisi Kawalu. Calintu juga menjadi pelengkap tradisi agar masa Kawalu lebih khidmat, jauh dari gangguan apapun.
“Ya, Calintu menjadi tanda bahwa Urang Baduy sedang mengolah ladangnya saat Kawalu. Masyarakat adat berkeyakinan bahwa Nyai Sri atau dewi padi tidak mau diganggu dan membutuhkan ketenangan dan tak mau diganggu oleh polah manusia,” terang pemerhati masalah Baduy, Rohendi.
Menurutnya, kawalu adalah proses memberi energi positif untuk ppadi yang ditanam warga mulai dari bunting hingga padi bisa dipanen. Calintu itu jugalah yang mengusir berbagai jenis hama yang biasa menyerang tanaman padi.
Baca Juga: Mobil Listrik Jadi Kendaraan Dinas Menhub
“Hama padi di ladang huma itu bisa hilang oleh suara Calintu. Bukan oleh bebegig atau orang-orangan sawah ang bisa dijumpai di luar Baduy,” ungkapnya.
Frekuensi suara yang ditimbulkan dari Calintu, kata dia, tampaknya sesuai dengan sesuatu yang benar-benar ditakuti oleh hama wereng atau burung pemakan padi.
“Jadi Kawalu itu selain makna doa, secara fisik juga bertujuan agar suara pengusir hama tidak terganggu oleh aktivitas manusia atau hiruk pikuk dunia lainnya,” paparnya.
Baca Juga: Bupati Serang Janji Fokus Pemberdayaan Ekonomi Santri
Dia menerangkan, ada 12 bulan dalam kalender Baduy yang masing-masing bulan terdiri dari 30 hari. Hitungan atau nama-nama bulan itu adalah, Kasa, Karo, Katilu, Kapat atau Sapar, Kalima, Kanem, Kapitu atau Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah dan Hapit Kayu.
“Nah Kawalu itu berlangsung selama tiga bulan. Dimulai pada bulan Kadalapan, Kasalapan dan Kasapuluh. Selama tiga bulan itu warga Baduy tidak menerima tamu siapapun dan dari manapun. Mereka berkonsentrasi untuk menerima anugerah alam dari sang Pencipta dengan cara mengolah tanah menjadi tanaman padi,” pungkasnya.***