Adik Ipar Jokowi Anwar Usman Tidak Setuju MK Hapus Aturan Presidential Threshold, Ungkap Alasan Ini

photo author
- Sabtu, 4 Januari 2025 | 10:27 WIB
Hakim Konstitusi Anwar Usman. Foto :Jatim Network
Hakim Konstitusi Anwar Usman. Foto :Jatim Network

REFERENSIBERITA.COM- Mahkamah Konstitusi (MK) telah ketok palu menghapuskan aturan Presidential Threshold.

Presidential Threshold adalah ambang batas minimal jumlah kursi yang harus dimiliki oleh suatu partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu legislatif untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu.

Baca Juga: Dongkrak Sektor Perikanan dengan Wujudkan Minapolitan, Desa Luwung dan Tanjung Anom Jadi Potensi Utama

Di Indonesia, ambang batas ini diatur dalam Undang-Undang Pemilu dan bertujuan untuk memastikan bahwa hanya partai politik atau koalisi partai yang memiliki dukungan yang cukup besar di parlemen yang dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Dalam praktiknya, Presidential Threshold di Indonesia ditetapkan sebesar 20% dari total kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25% dari suara sah nasional dalam pemilu legislatif yang sebelumnya.

Dengan kata lain, suatu partai atau koalisi yang ingin mencalonkan presiden dan wakil presiden harus mendapatkan minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.

Baca Juga: Prabowo Perintahkan Bahan Baku Makan Bergizi Gratis Bersumber dari Desa untuk Gerakkan Ekonomi

Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, mengungkapkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) sebesar 20% dalam putusan nomor 62/PUU-XXI/2024 merupakan langkah yang tepat.

Menurutnya, saat pemilu presiden, calon wakil presiden, dan pemilu legislatif diselenggarakan secara serentak, maka ambang batas untuk pencalonan presiden dan wakil presiden seharusnya dihapuskan sama sekali.

Baca Juga: Prabowo akan Hapus Utang Sekitar 1 Juta Pelaku UMKM, Total Rp 14 T

Ia menilai bahwa adanya pengaturan yang tidak konsisten dalam sistem pemilu, di mana pemilu legislatif dan presiden diserentakan, tetapi Presidential Threshold tetap dipertahankan, mengundang kejanggalan.

"Pemilu diserentakan, namun Presidential Threshold tidak dibuat nol, ini sedikit aneh," ujarnya di Jakarta pada 2 Januari 2025.

Jeirry juga menegaskan bahwa keputusan MK tersebut harus menjadi acuan bagi eksekutif dan legislatif, terlebih dengan adanya rencana besar untuk merevisi Undang-Undang Pemilu pada tahun ini.

Baca Juga: Tyo Bento: Dari Penagih Utang, Hidup keras 'di Jalan' Hingga Membuka Usaha Kuliner di Banjarnegara

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Panji Setiawan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X